JAKARTA, checkbind.com – Anggota DPR Dorong Penyelesaian Kasus 15 Mahasiswa Trisakti dengan “Restorative Justice”. Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI, mendesak aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus 15 mahasiswa Universitas Trisakti melalui pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif. Kepolisian menetapkan mahasiswa-mahasiswa ini sebagai tersangka setelah demo peringatan Reformasi di depan Balai Kota Jakarta berujung ricuh. Nasir menekankan bahwa status mereka sebagai pelajar yang masih membutuhkan bimbingan seharusnya menjadi pertimbangan utama.
“Kami mendesak pihak berwenang menyelesaikan kasus ini melalui restorative justice karena status mereka sebagai mahasiswa masih membutuhkan bimbingan, bukan sekadar hukuman. Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan pendidikan,” tegas Nasir dalam wawancara Minggu (25/5/2025). Dia menambahkan, unjuk rasa seharusnya menjadi sarana edukasi dan kritik yang konstruktif, bukan justru berakhir dengan kekerasan.
Demo Berujung Ricuh, 15 Mahasiswa Jadi Tersangka
Menurut Nasir, situasi lapangan saat demonstrasi seringkali tidak terkendali, sehingga memicu aksi anarkis baik secara verbal maupun fisik. “Kondisi di lokasi demo kadang sulit diprediksi. Alih-alih menyampaikan aspirasi, malah terjadi kericuhan yang merugikan semua pihak, termasuk aparat,” ujarnya. Dia pun mengimbau semua pihak mengawal aksi protes sejak dini dan menjaga suasana tetap kondusif agar tidak terjadi eskalasi.
Polda Metro Jaya telah mengamankan 93 mahasiswa Trisakti dan menetapkan 15 di antaranya sebagai tersangka. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengonfirmasi hal ini pada Jumat (23/5/2025).
Nasir Djamil yakin bahwa pendekatan restorative justice jauh lebih tepat ketimbang proses hukum biasa. Pasalnya, mahasiswa yang terlibat bukanlah pelaku kriminal berpengalaman, melainkan anak muda yang mungkin terbawa emosi saat demo. “Mereka butuh bimbingan, bukan stigma sebagai tersangka. Proses hukum yang berat justru bisa mengganggu masa depan akademis mereka,” tegasnya.
Selain itu, dia menilai kekerasan dalam demonstrasi sering terjadi karena miskomunikasi antara pengunjuk rasa dan aparat. “Jika sejak awal ada pengawalan yang baik, bentrok mungkin bisa dihindari,” tambah Nasir. Dia pun mendorong pihak kampus dan kepolisian untuk duduk bersama mencari solusi terbaik.
Sejumlah kalangan mendukung gagasan penyelesaian kasus ini di luar pengadilan. Aktivis HAM, misalnya, menilai restorative justice bisa menjadi contoh baik dalam menangani konflik antara mahasiswa dan aparat. “Mediasi memberikan hasil lebih efektif karena mengutamakan pemulihan ketimbang pembalasan,” tegas seorang pegiat HAM yang memilih merahasiakan identitasnya.
Di sisi lain, kepolisian masih mempertimbangkan opsi ini. Namun, Ade Ary menegaskan, “Kami wajib menegakkan hukum apabila menemukan unsur pidana yang kuat.” “Kami terbuka untuk dialog, tetapi proses hukum tetap berjalan sesuai aturan,” katanya.
Baca Juga: GRIB Jaya duduki lahan BMKG bertahun-tahun!
Nasir berharap insiden ini menjadi pelajaran bagi semua pihak. Mahasiswa harus menyelenggarakan unjuk rasa dengan tertib supaya pesannya sampai dengan jelas. Sementara bagi aparat, pengawalan yang profesional bisa mencegah situasi memanas. “Demo adalah hak konstitusional, tapi harus diiringi tanggung jawab. Mari ciptakan iklim protes yang sehat,” pungkasnya.
Para pihak terkait masih membahas proses hukum dan opsi restorative justice hingga saat ini. Nasir yakin komunikasi yang baik akan menyelesaikan kasus ini tanpa mengorbankan masa depan 15 mahasiswa tersebut.